Pim pim piiimmm. Suara gaduh yang biasa terdengar di jalan-jalan kota. Debu, asap, polusi semua bercampur aduk. Suasana menjadi pengap dan sangat panas. Sampah-sampah masih terlihat di pinggir-pinggiran jalan. Lampu merah menyala. Anak-anak itu berhamburan ke jalan. Ada yang memakai gitar kecil ada pula yang membawa tutup-tutup botol yang dirangkai sedemikian rupa sehingga bisa mengiringi lantunan lagu yang mereka nyanyikan. Berhenti dan bernyanyi di setiap pintu-pintu mobil. Belum selesai lagu mereka beberapa keping uang receh sudah di tangan. Kemudian mereka menunduk sebagai tanda terimakasih. Lampu hijau menyala, mereka segera menepi ke pinggir jalan.
Anak-anak itu berpencar dengan tujuan masing-masing. Namanya juga
anak jalanan, selalu berkelana di jalan sepanjang hari. Dua orang anak
laki-laki berkalung dagangan kecil-kecilan itu malah tidak sesibuk anak-anak
tadi. Asyik nongkrong di bangku panjang pinggir jalan itu. Parahnya lagi
keduanya sambil asyik menghisap rok*k tanpa rasa bersalah sedikit pun. Padahal
mereka masih kecil. Paling baru seusia kelas 6 SD. Bersendau gurau keduanya dan
hanya memandangi jalan. Lalu dari arah kanan mereka berjalan dengan gesa
seorang anak perempuan memakai seragam putih biru dengan tas di punggungnya.
Gayanya terlihat kumuh berjalan menghampiri kedua anak itu.
“Hehh! Kalian!
Siapa yang suruh nongkrong-nongkrong di sini!” teriaknya dan memukuli kedua
anak itu. “Apalagi
ini, kalian merok*k? Dasar bodoh! Dasar nakal! Kalian mau mati ya!” anak
perempuan itu merebut rok*k dari tangan kedua anak itu.
“Aduh,
Sakit…” rintih kedua anak itu. Anak perempuan itu mencekal lengan kedua anak
itu lalu menyeretnya berjalan. Anak-anak itu tak berhenti merintih kesakitan.
Mereka berhenti di depan sebuah bangunan hampir hancur.
Ditambal–tambal dengan bahan seadanya. Bangunan itu dijadikan tempat tinggal
oleh anak-anak jalanan itu. Rupanya anak perempuan tadi sangat geram dengan
kedua anak laki-laki itu. Matanya yang bulat mengisyaratkan kalau ia sangat
marah.
“Kenapa
kalian tidak kerja?”
“Kami
kerja. Kami sedang istirahat. Capek banget muter-muter sampai terminal.”
“Cuma
baru sampai terminal aja ngaku-ngaku capek, istirahat dulu. Huh! Tidak usah
manja! Kalian ini mau enaknya saja. Capek sedikit ngeluh. Apa-apaan. Terus,
siapa suruh tadi kalian ngrok*k? Heh?” kedua anak laki-laki itu menunduk. Tidak
ada yang mau angkat bicara.
“Kenapa
tidak jawab?!” anak itu diam sejenak. “Kalian ini masih kecil. Kalian tau
tidak, sih. Kalau kalian ngrok*k sama aja kalian tu pengen mati! Tau! Darimana
uang yang kamu pakai buat beli rok*k itu? Dari hasil jualan kalian? Iya? Kan
udah aku bilang, semua hasil kalian itu ditabung! Buat nanti kalian sekolah!
Bukan buat jajan! Apalagi buat beli rok*k! Dasar kalian! selama ini dengerin
omonganku tidak?” anak itu menghela nafas sejenak. Kedua anak laki-laki itu masih
tetap terdiam.
“Aku
peringatkan sekali lagi. Kalau besok kalian masih ngrok*k lagi, awas kalian!
Mau ditangkap polisi? Heh?! Masuk sana!”
Gadis yang beranjak remaja itu bernama Putri. Ia sekarang
duduk di kelas 8 SMP. Anak yang cantik tapi dengan sifatnya yang tegas dan
keras. Hanya satu harapnya saat ini, bisa melanjutkan sekolah serta anak-anak
jalanan yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu bisa bersekolah seperti
dirinya. Maka dari itu kelihatannya ia sangat keras kepada mereka. Mereka harus
maju, tak mungkin selamanya mereka hidup di jalan.
Sudah
hampir 10 tahun ini ia hidup di jalan. Tak mungkin tak merasa bosan. Apalagi di
lingkungan yang sulit seperti itu. belum lagi ancaman kapanpun mereka bisa
ditangkap polisi. Sebagai anak yang paling tua, Putri bertanggung jawab.
Melakukan yang seharusnya ia lakukan pada adik-adiknya. Di tempat kecil itu ia
hidup bersama 5 orang anak lainnya. Mereka semua terhitung masih anak-anak SD.
Malam ini waktunya Putri menyiapkan makanan seadanya. Nasi
dengan lauk satu buah telur dadar yang dibagi berlima. Sudah terbiasa kalau
Putri harus makan tanpa lauk. “Kalian
itu jangan macam-macam, ya. Kalau harus kerja, ya kerja. Nggak usah memikirkan
yang lain. Nggak usah coba-coba. Kalau harus nyemir ya nyemir aja. Kalau harus
ngasong ya ngasong. Harus jualan ya jualan. Selain apa yang aku perintahkan
nggak usah melakukan yang lain. Terutama kalian! Didit, Oni! Kalau besok kau
ulangi lagi, aku nggak peduli kalian mati di jalan! Ngerti?” nasihat Putri yang
terdengar sangat tegas bagi anak-anak.
Putri cuma tidak mau anak-anak terjerumus pada hal yang
tidak baik.
“Ya…” jawab
mereka serempak.
Esok
paginya, mereka sudah bersiap masing-masing. Menata barang-barang asongannya.
Alat-alat semirnya. Serta jualan kue nya. Ya, Putri tidak mengajari mereka
mengamen atau mengemis seperti anak-anak yang lain. Walaupun hasilnya tak lebih
banyak, tapi itu cukup mengajarkan mereka untuk bekerja keras. Sementara Putri
sendiri sekolah dari pagi hingga siang, setelah itu harus menjadi kuli angkut
tepung di pasar.
Siang ini
Putri tak mendapati Didit dan Onni berjualan di tempat biasanya ia lewat. Di
rumah mereka pun tak ada. Tiba-tiba seorang ibu yang biasa ia temui di pasar
datang.
“Put..
Didit dan Onni tadi ikut ketangkep polisi..!!” kata ibu itu terengah-engah.
Putri jadi panik. Ia berpikir keras dan khawatir.
“Makasih,
Buk.” katanya. Ia lalu lari tanpa sempat berganti baju dahulu.
Benar saja kantor polisi penuh dengan orang-orang jalanan.
Namun Putri belum menemukan Didit dan Onni. Rupanya mereka sedang duduk di
hadapan pak polisi. Kenapa sampai ditanya-tanya.
“Apa yang
kalian lakukan di tempat itu? Kalian juga pesta di situ? Darimana kalian
dapatkan?” tanya pak polisi bertubi-tubi. Didit, Onni, bersama bandit-bandit
itu. Anak-anak bandel dan nakal yang menyebalkan.
“Kami
tidak pakai nark*ba, Pak. Kami hanya main… istirahat..” kata Didit gemetaran.
Hah? Nark*ba? Jadi mereka dituduh pesta nark*ba?.
“Tapi
kalian juga merok*k! Apa hanya itu?”
“Maaf,
Pak. Jadi bapak menuduh anak ini pesta nark*ba?” kata Putri menyela ketegangan
itu.
“Kamu
siapa lagi? Pergi sana kalau tidak ada keperluan! Mengganggu saja!”
“Saya
kakak mereka, Pak.”
“Oh,
benarkah? Lalu kamu juga ikut dalam pesta itu?”
“Saya
sudah bilang mereka tidak pesta nark*ba, Pak. Darimana bapak tahu kalau mereka
pesta nark*ba?”
“Heh!
Sudah sejak dulu tempat itu menjadi sarang mereka. Anak-anak itu juga
melihatnya sendiri. Belum puas ditambah merokok.” kata pak polisi menunjuk pada
bandit-bandit bandel itu. Putri
sungguh jengkel. Dasar anak-anak tukang bohong. Pasti mereka mengada-ada saja
untuk mencelakai Didit dan Onni.
“Jadi
bapak percaya omongan mereka? Bukankah semua harus disertai bukti, Pak? Lalu
kalau mereka benar-benar memakai nark*ba, kenapa sampai sekarang mereka
baik-baik saja? Bukankah pemakai nark*ba selalu menjadi aneh? Mereka bukan
pemakai, Pak. Anak-anak itu bohong! Mereka menuduh orang lain, padahal mereka
sendiri yang melakukannya, Pak!”
“Hei! Dia
bohong, Pak!” bantah anak-anak bandel itu sempoyongan.
“Apa?
Kalian yang bohong! Sudah jelas-jelas kalian yang biasa memakai! Lihat, Pak!
Mereka jadi gila seperti itu.”
“Heh!
Pembohong, Pak. Dia itu yang tukang tuduh!”
“Sudah!
Sudah!” bentak pak polisi menggebrak meja. “Ini kantor polisi! Jangan buat
keributan!” sejenak kemudian semua menjadi diam.
“Baiklah.
Nanti kalian akan ikut di penampungan.”
“Mereka
berdua juga, Pak?”
“Tentu
saja!”
“Tapi
mereka bukan pengamen atau pengemis seperti yang lain, Pak. Mereka jualan.
Bukan pengemis, Pak.” protes Putri.
“Sama
saja. Mereka anak jalanan yang bandel. Anak kecil sudah merok*k. Tunggu saja
kalian akan dipindahkan nanti.” Polisi itu beranjak pergi.
Pusing rupanya menghadapi anak-anak itu.
“Pak,
saya mohon. Mereka adik saya, Pak.” Putri menahan tangan pak polisi itu.
kemudian ia bersimpuh. Didit dan Onni yang sedari tadi hanya diam karena takut,
jadi terkejut. “Jangan bawa mereka, Pak. Saya akan bertanggung jawab atas
mereka. Saya akan menghukum mereka kalau mereka berani nakal lagi, berani
merok*k lagi, Pak. Saya mohon percaya pada saya, Pak. Saya sekolah, Pak. Lihat
seragam saya. Bapak percaya pada saya.” Tak disangka-sangka Putri meneteskan airmata.
Polisi itu mengamati seragam yang dipakai Putri.
Didit dan
Onni berjalan lambat-lambat.
Melangkah mengikuti Putri yang sedari tadi diam. Mereka
berdua menunduk tak bisa bicara apapun. Wajah mereka yang lusuh, baju mereka
yang lusuh terkena debu membuat mereka semakin menyedihkan. Tiba-tiba Putri
berbalik matanya menyorot tajam pada kedua anak itu.
“Kalian
ini bandel banget, sih. Aku harus gimana supaya kalian itu ngerti.” Putri
menahan amarahnya. Berlari masuk ke dalam rumah yang jauh dari sederhana itu.
Putri
masih terdiam malam ini. Besok libur, jadi Putri sedikit tidak peduli dengan
pelajaran. Duduk memandang langit melepas lelahnya hari ini di bangku kecil
depan rumah. Didit dan Onni dengan takut-takut mendekati Putri duduk di
sampingnya. Putri berpaling masih tak mau melihat mereka.
“Maaf,
Kak. Kami salah. Kak Putri boleh menghukum kami.” akhirnya Didit bicara.
“Iya,
Kak. Kami bandel. Kami takut sampai membuat kak Putri menangis. Kami akan
bekerja keras mulai sekarang. Kami akan rajin jualan. Kami juga bisa bantu kak
Putri di pasar. Kami ingin sekolah juga.” tambah Onni meyakinkan. Putri
berbalik ke arah mereka.
“Kakak?
Baru kali ini aku mendengar kalian memanggilku seperti itu.”
“Kami
adiknya kak Putri, kan?” Putri hanya mengacak-acak rambut kedua anak itu. Didit
dan Onni gembira rupanya berhasil minta maaf pada Putri.
Hari ini wajah Putri berbinar-binar. Ia melangkah senang
dengan bawaan di tangannya. Anak-anak menyambutnya dengan heran. Menanyakan apa
yang ia bawa. Seragam sekolah rupanya. Anak-anak bahagia kegirangan. Mereka
senang rupanya sebentar lagi bisa sekolah.
Mulai
hari ini, jadwal mereka berubah. Pagi sampai siang mereka sekolah, baru siang
harinya mereka kembali bekerja. Putri bisa tersenyum bahagia. Ya, semua pasti
tidak ada yang mustahil. Kini apa yang ia inginkan yang dulu ia kira sebatas
angan belaka bisa terwujud. Jika kita mau, kita pasti bisa.
(Cerpen Karangan: Ana Nur Isnaini)
0 komentar:
Posting Komentar